Thursday 31 December 2015

Hidup Bersama Kenyamanan

Hujan deras mengguyur Kota Pahlawan, Kamis (31/12) siang ini tatkala telepon seluler saya berdering kencang. Salah seorang kawan berucap di ujung suara, "Coba baca status BBM-nya Evan Dimas." Sejurus kemudian, saya meraih Blackberry kesayangan. Mantan kapten Tim Nasional (Timnas) U-19 ini menulis, "Hiduplah bersama kenyamanan." Ketika membaca ini, saya bertanya di dalam hati. Sebenarnya apa yang coba diungkapkan oleh pesepakbola asli Surabaya ini?

Besar kemungkinan Evan ingin mengungkapkan isi hatinya tentang kelangsungan karier ‘balbalannya’. Tawaran bermain untuk RDC Espanyol, salah satu peserta La Liga, menjadi biang kegalauannya selama dua minggu terakhir. Evan tahu bahwa pinangan dari Negeri Matador amat sangat menggiurkan. Tapi di sisi lain, ada sebuah ganjalan yang membuatnya berat meninggalkan Indonesia.

Evan sebenarnya tak memiliki hambatan apapun untuk berangkat ke Spanyol. Kedua orang tuanya sudah memberikan lampu hijau. Ayah angkat, seluruh saudaranya dan sang kekasih pun sudah mendukungnya guna melanjutkan karier ke Benua Biru. Tapi Evan lah pemegang keputusan terakhir. Sebab dia lah yang akan menjalani, serta menerima konsekuensi atas segala keputusannya.

Kenyamanan. Mungkin itulah yang membuat Evan harus berpikir dua kali sebelum pergi ke Spanyol untuk keempat kalinya. Apa yang membuat Evan Dimas nyaman? Jika melihat karakter personalnya, Evan bukan tipikal orang yang suka menyendiri. Untuk sebagian orang yang baru mengenalnya, Evan mungkin dicap sebagai seseorang pendiam. Padahal Evan adalah sosok pemuda yang riang dan suka bercerita. Evan juga punya hobi dan wawasan kuliner yang sangat luas.

Misal ketika dia baru saja bertanding. Evan akan selalu bertanya kepada orang terdekatnya, atau sosok yang dianggap nyaman, tentang penampilannya di laga tersebut. Evan butuh komentar pihak ketiga atas apa yang sudah ia pertontonkan di lapangan hijau. Saya termasuk orang yang merasakan pengalaman itu. Sepulang dari pertandingan babak grup Piala Presiden 2015 di Bandung, Evan selalu meminta saya duduk sebangku ketika berada di atas bus. "Gimana permainanku tadi, Mas. Bagus apa nggak?" tanya Evan.

Sang penggemar Ahmad Bustomi ini adalah sosok yang tak sekadar membutuhkan teman bicara, tapi ia juga butuh orang yang memberikan masukan sekaligus mengkritiknya.

Evan juga akan nyaman jika bermain di posisi kesukaannya, yakni gelandang tengah. Ia termasuk pesepakbola multifungsi. Ia bisa memerankan sosok gelandang bertahan dengan sangat baik. Namun dengan naluri menyerang serta umpan-umpan akuratnya, jebolan Mitra Surabaya ini juga sangat cakap jika dimainkan sebagai gelandang serang.

Namun apa jadinya jika Evan keluar dari kotak nyamannya tersebut. Bagaimana jika Evan bermain sebagai striker, winger, bek atau bahkan penjaga gawang? Pada era sepakbola modern ini, pemain dengan karakter banyak utilitas memang sangat menguntungkan klub. Lihat saja bagaimana penggawa Manchester United, Daley Blind yang bisa memerankan banyak posisi. Mulai dari bek kiri, sayap kiri, gelandang bertahan dan bek tengah.

Tapi tak semua pemain diberkahi kelebihan serupa. Mega bintang seperti Zinedine Zidane pun hanya piawai di satu sektor saja, yakni attacking midfielder. Zidane bisa saja keluar dari zonanya, tapi kemampuannya tak akan terserap maksimal.

Hal itu lah yang terjadi pada Evan semasa trial di Llagostera. Tak hanya yang tahu bahwa disana ia dimainkan sebagai pemain sayap. Hasilnya pun sudah bisa ditebak. Trial di Llagostera tak membuahkan hasil yang diinginkan. Belakangan akhirnya diketahui bahwa klub kecil dari Catalan ini sudah mendatangkan gelandang dari Brasil ketika Evan trial disana.

Aspek kecil seperti inilah yang tak diketahui, atau mungkin tak disadari oleh orang-orang yang merasa berhak atas Evan. "Klub besar itu pasti akan coba talent dia tuh dimana-mana. Baru nanti kelihatan optimalitasnya dimana. Karena yang dicari manfaat buat tim, bukan buat individu. Semua butuh pengorbanan untuk sukses. Dan Evan adalah salah satu orang yang mempunyai modal untuk dipanggil tim Espanyol. Mereka tim besar," ucap Gede Widiade, bos Surabaya United.

Gede boleh saja berkhutbah demikian. Tapi ia harus tahu bahwa Evan lah yang menjalani di lapangan. Sebagai pemilik klub yang mengontrak jasa Evan hingga 2017, Gede sebenarnya bisa mengambil peran sebagai filter. Gede seharusnya sanggup memastikan bahwa klub peminat benar-benar membutuhkan jasa Evan di posisi terbaiknya. Bukan sekadar menerima tawaran, namun Evan malah diminta bermain di bidang keahliannya.

Jika Evan saja merasa tak nyaman dan tidak sreg, itu sama saja pergi untuk kembali ke Indonesia.

Bola.net, 31 Desember 2015

Friday 16 October 2015

Fatamorgana Sepakbola Indonesia

Rabu (14/10) kemarin, cuaca di Surabaya sedang panas-panasnya. Berdasarkan prakiraan cuaca dari Stasiun Meteorologi Klas I Juanda Surabaya BMKG Jawa Timur (Jatim), suhu Kota Pahlawan dan sekitarnya mencapai angka 35 derajat celsius. Tepat pukul 12.00, saya beranjak dari pusat kota menuju kampung halaman, Gresik. Ketika sudah sampai di Jalan Romokalisari, terpampang pemandangan yang amat menarik. Di sisi kiri, nampak dari kejauhan kemegahan Stadion Gelora Bung Tomo (GBT). Sedangkan di sisi kanan, terlihat venue 'balbalan' anyar milik warga Kota Pudak, yakni Stadion Gelora Joko Samudro (GJS).

Keberadaan Stadion GBT dan GJS mengingatkan kita akan dua bangunan olahraga yang ada di Kota Liverpool, yakni Stadion Anfield yang menjadi markas Liverpool FC, dan Stadion Goodison Park, kandang Everton FC. Kedua stadion yang berjarak kurang dari 1 kilometer ini, hanya dibatasi sebuah area terbuka bernama Stanley Park. Sementara itu, Stadion GBT dan GJS hanya terpaut jarak kurang dari 3 kilometer. Keduanya juga dipisahkan oleh Kali Lamong yang juga menjadi pemisah antara Kota Surabaya dengan Kabupaten Gresik.

Saya membayangkan bagaimana jadinya jika Persegres Gresik United dan Persebaya Surabaya menggelar sebuah pertandingan yang bersamaan, baik tanggal maupun jamnya. Stadion GBT akan menghijau oleh atribut Bonek. Sedangkan Stadion GJS diselimuti warna kebanggan Ultras Gresik, yakni kuning-biru. Yel-yel penyemangat menggelegar dari dua tempat ini. "Yo ayo, ayo Persegres. Sore ini kamu harus menang," teriak puluhan ribu Ultras Gresik yang memadati Stadion GJS. Koreo-koreo indah diperagakan oleh para penggila Laskar Joko Samudro.

Di sebrang sana, atmosfer Stadion GBT juga tak kalah bergemuruh. "Kami ini Bonek Mania. Kami selalu mendukung Persebaya. Dimana kau berada, kami selalu ada. Karena kami Bonek Mania," begitu kira-kira lirik lagu penyemangat yang dikumandangkan Arek-arek Bonek untuk mendukung Persebaya. Mexican wave membuat pertandingan semakin meriah. Ah, sungguh indah momen ini. Merinding rasanya bila melihat ritual ini dilakukan kala kondisi stadion tengah penuk sesak oleh puluhan ribu suporter.

Tengah asyik menikmati situasi ini, saya dikejutkan oleh sebuah truk kontainer yang tiba-tiba keluar dari gudang tanpa memberikan isyarat. Seketika, roda motor saya berhenti oleh cengkraman double cakram yang mulai aus. Ah sial, rupanya hanya fatamorgana. Cuaca sangat terik di Kota Surabaya, membuai saya hingga ke alam bawah sadar. Sampai-sampai saya lupa bahwa sepakbola profesional Indonesia sedang mati suri karena perseteruan antara pemerintah dengan induk organisasi. Kapan sepakbola Indonesia kembali sehat wal afiat seperti sedia kala? Auk dah, nggak jelas, vroh.

Hingga saat ini kita tak bisa memastikan kapan sepakbola ini akan normal lagi. Meski nampak adem ayem, tak ada pertarungan komentar, kondisinya sebernarnya sudah semakin ruwet. Banyak pemain-pemain sepakbola profesional kita, mengambil risiko dengan turun di turnamen antar kampung (tarkam). Padahal upahnya tak sebanding dengan konsekuensi cedera yang menghantui. Ada pula sejumlah insan sepakbola yang mulai meninggalkan dunia yang telah membesarkannya. Saya teringat perbincangan ringan dengan mantan pemain Persebaya Surabaya dan Mitra Kukar, M. Fachrudin. Saat ini, Fachrudin memutuskan untuk rehat dari sepakbola.

Sebenarnya ini adalah keputusan yang berat bagi pria yang pernah memperkuat PSIS Semarang dan Deltras Sidoarjo ini. Bagaimana tidak, Fachrudin sedang menapaki karier sebagai pelatih. Bapak dua anak ini pernah ditunjuk sebagai asisten pelatih klub Divisi Utama, PS Mojokerto Putra. Bersama Anang Ma'ruf. Fachrudin juga tercatat sebagai salah satu coach di SSB Simo Putra. Namun pria yang selalu tampil modis ini menjelaskan, situasi dan kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk menekuni bidang sepakbola. "Sekarang saya sedang menggagas bisnis kuliner dan chemical," tuturnya.

Fachrudin mengungkapkan, saat ini para orang tua sudah berpikir dua kali untuk menyekolahkan putranya di SSB. "Soalnya khawatir masa depan anaknya di sepakbola," beber Fachrudin. Bisa jadi, keputusan sejumlah pesepakbola muda kita yang menjadi anggota TNI, seperti Manahati Lestusen, Wawan Febrianto, M Abduh Lestaluhu, Teguh Amiruddin, M. Dimas Drajad dan Ravi Murdianto, adalah karena mereka melihat tak ada masa depan cemerlang jika kondisi sepakbola Indonesia masih 'gini-gini' saja.

Lalu, jika para orang tua saja sudah mulai ragu mempertaruhkan masa depan anaknya di dunia si kulit bundar, mungkinkah kita akan kekurangan bibit pesepakbola handal? Kalau itu terjadi, bagaimana dengan nasib cita-cita agung masyarakat sepakbola kita untuk melihat Tim Nasional (Timnas) Indonesia menjadi peserta Piala Dunia? Masa iya kita harus mengubur mimpi untuk melihat Timnas Indonesia diperkuat anak bangsa yang memiliki kualitas seperti David Beckham, Andrea Pirlo, Andriy Shevchenko, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Ahh, sudah-sudah. Ayo bangun, jangan berkhayal lagi, vroh.

Bola.net, 15 Oktober 2015

Friday 9 October 2015

Tauladan Buruk Bernama Bonek FC

Hingga Senin (28/9) malam, Bonek FC masih menjadi salah satu trending topic di jagat Twitter. Jutaan orang, khususnya yang berada di Indonesia, seolah tak pernah berhenti membicarakan klub yang awalnya bernama Persebaya United ini. Topik pembahasan mereka tak lain adalah keputusan kontroversial Bonek FC yang memilik kalah walk out (WO) saat berjumpa dengan Sriwijaya FC, Minggu (27/9) sore. Leg kedua babak delapan besar turnamen Piala Presiden ini, dilangsungkan di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang.

Sekadar mengingatkan saja, Bonek FC memutuskan untuk mundur dari arena laga setelah wasit Jerry Eli memberikan hadiah penalti untuk tuan rumah Sriwijaya FC di menit ke-13. Wasit asal Bogor itu menganggap bek Firly Apriansyah menyentuh bola dengan tangan di kotak terlarang. Meski dalam tayangan ulang jelas menampakkan jika bola mengenai bahu eks bek Persepam Madura Utama itu. Bonek FC sendiri dalam posisi unggul 1-0 setelah Ilham Udin Armaiyn mencetak gol di menit keenam.

Keputusan WO ini memantik reaksi dari kalangan netizen. Mayoritas mereka memberikan komentar yang negatif tentang sikap yang diambil manajemen dan tim pelatih Bonek FC. Mereka tak ragu menyebut tim ini (maaf) tidak jantan, pengecut bahkan tidak dewasa. Menurut logika para pemerhati sepakbola di dunia maya, jikalau penalti itu akhirnya gagal diselamatkan kiper Jandri Pitoy, Bonek FC sebenarnya masih unggul agregat 2-1 atas Laskar Wong Kito, julukan Sriwijaya FC. Artinya, kesempatan untuk melenggang ke semifinal masih terbuka lebar.

Sayangnya logika sederhana itu tak ada di kamus Bonek FC. Kekecewaan yang sudah membuncah kepada sang pengadil, membuat mereka gelap mata. Mereka seolah tak sadar bahwa selain mempermalukan diri sendiri, sikap mengundurkan diri di tengah laga yang sedang berlangsung, juga memberikan contoh yang sangat buruk kepada para pemain mudanya. Apalagi dari 18 pemain Bonek FC yang tercantum di lembar daftar susunan pemain (DSP), tujuh di antaranya berusia di bawah 21 tahun.

Ketujuh pemain tersebut adalah, Putu Gede Juni Antara (20 tahun), M. Fatchurohman (19 tahun), Ilham Udin Armaiyn (19 tahun), Evan Dimas Darmono (20 tahun), Zulfiandi (20 tahun), Sahrul Kurniawan (20 tahun) dan Hargianto (19 tahun). Ya, mereka semua adalah para pemain alumni Tim Nasional (Timnas) U-19 yang menjuarai turnamen Piala AFF U-19 tahun 2013 lalu.

Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya yang berjudul Developmental Psycology (1980), membagi masa-masa perkembangan psikologi manusia dalam 10 kategori. Dengan rata-rata usia masih di bawah 21 tahun, maka para pemuda yang dimiliki Bonek FC ini masih tergolong dalam kategori masa remaja, atau adolesence. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol. Pemilikiran mereka semakin logis, abstrak dan idealistis. Mereka juga masih dalam tahap pencarian identitas.

Manajemen Bonek FC seolah tak sadar bahwa mereka telah memberikan contoh yang tidak patut kepada para aset berharga Indonesia ini. Bonek FC dengan penuh rasa percaya diri mengatakan, keputusan WO adalah pelajaran positif bagi para pemain muda. "Justru ini contoh fair play kepada pemain muda," kata sekretaris tim Bonek FC, Rahmad Sumanjaya kepada Bola.net. "Kami bersikap demikian untuk menegakkan hukum sepakbola. Harus ada yang melawan iblis meski iblis tak bisa mati," seloroh pria berkacamata ini.

Sekarang, kita patut berdoa agar para pemain pemain muda ini tak menganggap keputusan WO sebagai tindakan protes atas kinerja wasit, adalah sesuatu yang benar. Jangan sampai kejadian ini mereka serap sebagai pelajaran. Semoga Evan Dimas dan kolega tak pernah memiliki pikiran bahwa jika sudah sangat kecewa dan ingin melawan pengadil, maka WO adalah keputusan terbaik. Kita juga harus yakin, meski tak terucap oleh lisan, para pesepakbola harapan bangsa ini sebenarnya ingin main menjadikan WO sebagai sikap para pengecut.

Jangan sampai di kemudian hari, para pemain muda ini mempunyai mental tempe. Mereka harus menjadi pesepakbola yang berani, tangguh, pekerja keras, bermental baja dan tetap rendah hati. Mereka harus mencerminkan sosok kesatria di lapangan hijau. Mungkin kita, khususnya Bonek FC, bisa belajar banyak dari Tim Nasional (Timnas) Inggris.

Anda sekalian pasti ingat ketika Inggris bertemu Jerman di babak 16 besar Piala Dunia 2010. Sebuah tendangan spektakuler yang dilesakkan Frank Lampard, gagal dihalau kiper Jerman Manuel Neuer. Meski telah melewati garis gawang setelah membentur mistar, namun gol itu dianulir oleh pengadil. Wasit menganggap bola belum melewati garis gawang. Keputusan wasit memantik protes dari para pemain dan offisial tim. Tapi jangan kira Timnas Inggris melakukan aksi mundur seperti yang dilakoni oleh Bonek FC.

Fabio Capello, arsitek Inggris saat itu, juka tak pernah memberikan isyarat agar pasukannya meninggalkan lapangan karena kecewa dengan sikap wasit. Capello tahu, andai saja gol itu disahkan, tentu jalannya pertandingan akan berbeda. Namun ia dengan legawa menerima keputusan wasit meski timnya harus menelan kekalahan menyakitkan dengan skor 1-4 atas Der Panzer. Kepulangan mereka ke Inggris disambut bak pahlawan. Mereka pun pulang dengan kepala tegak.

Semoga pelajaran dari Timnas Inggris bisa diteladani oleh para pemain muda Bonek FC. Mereka harus tahu bahwa sepakbola adalah olahraga laki-laki. Dan laki-laki itu pantang mundur meski sekeras apapun rintangan yang menghalanginya.

Bola.net, 29 September 2015
http://www.bola.net/editorial/tauladan-buruk-bernama-bonek-fc.html?1443464180